Saturday 15 May 2010

Faktur Pajak Terbaru!!

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK
1. Saat penyerahan BKP dan/atau JKP
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP.
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK GABUNGAN
1. Untuk meringankan beban administrasi, PKP diperkenankan untuk membuat satu faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan kalender kepada pembeli atau penerima JKP yang sama yang disebut faktur Pajak gabungan.
2. Faktur Pajak gabungan dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP meskipun didalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
1) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
2) Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
4) PPN yang dipungut;
5) PPn BM yang dipungut;
6) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7) Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
LARANGAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK
Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

Link download..... faktur pajak terbaru!!!!

Friday 14 May 2010

Pokok-Pokok Perubahan UU No. 42 Tahun 2009 Tentang UU PPn & PPnBm.



Perihal: Pokok-Pokok Perubahan UU No. 42 Tahun 2009 Tentang UU PPn & PPnBm.

Dengan akan diberlakukannya UU No. 42 Tahun 2009 tentang “Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”, pada tanggal 1 April 2010 (selanjutnya disebut “UU tentang PPn & PPnBm”), maka kami mengingatkan kembali bahwa berdasarkan UU tentang PPn & PPnBm tersebut bagi pengusaha yang mempunyai omset penjualan lebh dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) per tahun, di samping telah memiliki NPWP maka diwajibkan pula untuk mendaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (“PKP”).
Latar belakang dan tujuan perubahan UU PPn adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak akan kepastian hukum yang berlaku dan dengan dilatar belakangi karena adanya perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, serta internasional terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat akan kebutuhan barang dan jasa terhadap perkembangan transaksi bisnis yang dilakukan.
Kelalaian atau kesengajaan untuk tidak mendaftar sebagai PKP, berdasarkan UU No.28 Tahun 2007 tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” (untuk selanjutnya disebut “UU KUP”), akan dikenakan sanksi sebagai berikut :
a.       Tidak mendaftar sebagai PKP dan PKP tidak memperlihatkan pembukuan / dokumen sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi :
»             Sanksi pidana minimum 6 bulan dan maksimum 6 tahun dan,
»             Membayar denda paling sedikit 2 kali dari jumlah pajak terutang dan paling banyak 4 kali dari pajak terutang.

b.      PKP yang tidak mengisi Faktur Pajak Standar secara lengkap, dikenakan sanksi :
»             Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari jumlah total Dasar Pengenaan Pajak (“DPP”)
Mengingat besar dan beratnya sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggaran ketentuan pajak tersebut, maka kami menghimbau kepada para klien untuk tunduk pada ketentuan tersebut karena setiap pelanggaran yang dilakukan,  akibatnya akan ditanggung sendiri oleh yang melakukan pelanggaran.



Lampiran :
Pasal
Subject
UU No.18 Tahun 2000 (Berlaku Januari 2001)
UU No.42 Tahun 2009 (Berlaku April 2010)

Pasal 4.A
Non BKP dan Non JKP
Daging, Telur, Susu, Sayuran, dan Buah-Buahan di bebaskan dari pengenaan PPn, melalui peraturan pemerintah tentang BKP strategis.



Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran (yang telah dikenakan pajak daerah), dikenakan PPn kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2) huruf a).






Jasa keuangan, PPn tidak dikenakan atas jasa perbankan (Psl 4A (3) huruf d).

















Jasa-Jasa tertentu, PPn dikenakan atas jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, jasa boga/catering (Psl 4.A (3) huruf n – q)

Barang kebutuhan pokok yang sangat di butuhkan oleh rakyat banyak, misalnya: beras, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan tidak dikenakan PPn (Psl 4A (2) huruf b).


Barang hasil pertambangan dan hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan PPn (disesuaikan dengan undang-undang PDRD), misalnya: batu kapur, batu permata, minyak mentah, panas bumi, marmer, pasir, kerikil, tanah liat, dll. (Psl 4A (2) huruf a).


PPn tidak dikenakan atas jasa keuangan berupa :
1.       Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa tabungan, giro, deposito.
2.       Jasa menempatkan dana / meminjam dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat / sarana telekomunikasi lainnya.
3.       Jasa pembiayaan syari’ah berupa : usaha kartu kredit.
4.       Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai
5.       Jasa penjaminan
(Psl 4A (3) huruf d).


(Pasal 4.A (3) huruf n – q) :
1.       Jasa penyediaan tempat parkir
2.       Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
3.       Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
4.       Jasa boga atau catering
Menjadi tidak dikenakan PPn
Pasal 16
Restitusi
Restitusi untuk turis asing tidak di atur
PPn atas barang bawaan yang di bawa ke luar negeri melalui bandara tertentu oleh turis asing dapat direstitusi, dengan syarat :
1.       Nilai PPn minimal sebesar Rp. 500.000,-
2.       Pembelian BKP dilakukan dalam jangka waktu 1 bulan sebelum keberangkatan ke luar daerah pabean
3.       Faktur pajak memenuhi ketentuan pasal 13 ayat (5). Pada kolom pembeli di isi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di Negara yang menerbitkan paspor (Psl 16.E)
Pasal 12
Pemusatan Tempat PPn Terutang
1.       WP mengajukan permohonan dengan syarat penyerahan BKP atau JKP untuk semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha dan administrasi penjualan dan keuangan terpusat.
2.       Pemberian ijin pemusatan berdasarkan pemeriksaan (Psl 12 (2))
1.       Cukup dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis oleh WP kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak ( Psl 12 (2))
2.       Pemeriksaan dilakukan kemudian dalam hal diperlukan (penjelasan Psl 29 (1) UU KUP)

Pasal 13
Pembuatan Faktur Pajak
(Psl 13 (1.a))















Jenis Faktur Pajak
(Psl 13)



Sanksi Atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak
(Psl 13 (5) dan Psl 14 (1.e) UU KUP)











Syarat formal dan material faktur pajak
(Psl 13 (9))


Diatur dalam peraturan Dirjen Pajak, PKP dapat membuat satu faktur pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama, yaitu paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (dalam hal pembayaran diterima sebelum akhir bulan berikutnya).






Di kenal dua jenis faktur pajak yaitu faktur pajak standar dan faktur pajak sederhana (Psl 13 (1) & (7))

PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan faktur pajak yang tidak memenuhi syarat formal faktur pajak sebaimana diatur dalam pasal 13 ayat (5)











Faktur pajak harus memenuhi syarat formal dan material, seperti : nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP, NPWP pembeli BKP atau JKP, jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, potongan harga, pajak PPn yang dipungut atau pajak penjualan atas BM yang dipungut, kode, nomor seri, tanggal pembuatan faktur pajak, dan nama serta tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak, terdapat penjelasan  psl 13 ayat (5).

Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1.a) dan disesuaikan dengan saat terutang pajak sebaimana diatur dalam Psl 11, PKP dapat membuat satu faktur pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli BKP atau penerima JKP, yaitu pada saat penyerahan atau pada saat pembayaran diterima (dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan).
Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.

Hanya ada istilah “Faktur Pajak”




PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan faktur pajak yang tidak memuat ;
1.       Identitas pembeli, atau
2.       Identitas pembeli serta nama dan tanda tangan untuk faktur pajak yang diterbitkan oleh pedagang eceran (Psl 14 (1) huruf e UU KUP)
Faktur pajak tersebut tidak dikategorikan sebagai faktur pajak cacat, namun faktur pajaknya sendiri tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya.

Faktur pajak memenuhi persyaratan formal, apabila di isi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang di atur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

Sedangkan faktur pajak memenuhi persyaratan material , apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan BKP atau JKP.
Pasal 15.A

Penyetoran dan Pelaporan PPn
Penyetoran dilakukan paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya masa pajak.



Pelaporan dilakukan paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya masa pajak.
Penyetoran PPn oleh PKP di lakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT masa PPn disampaikan (Psl 15.A)

Pelaporan PPn dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Psl 15.A)

Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang atau keterlambatan penyampaian berdasarkan SPT PPn, maka PKP tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Perubahannya.
Pasal 16.F
Tanggung Renteng
Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan tidak diatur dalam UU PPn
Karena pasal mengenai tanggung renteng masih diperlukan, pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang sepanjang apabila ternyata pajak tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual/pemberi jasa, dan pembeli/penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar, ketentuan tersebut diatur kembali dalam UU PPn ini.

PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBANGUNAN ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 176/PMK.011/2009

TENTANG

PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN
UNTUK PEMBANGUNAN ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI
DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka peningkatan investasi di dalam negeri untuk mendorong perekonomian nasional di tengah persaingan global, perlu diberikan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, importasi yang dilakukan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, atas impor mesin, barang dan bahan dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
3. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal;
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBANGUNAN ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
1. Pembangunan adalah pendirian perusahaan atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
2. Pengembangan adalah pengembangan perusahaan atau pabrik yang telah ada meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi.
3. Mesin adalah setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan atau perkakas, dalam keadaan terpasang maupun terlepas yang digunakan untuk pembangunan atau pengembangan industri.
4. Barang dan bahan adalah semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi.
5. Perusahaan adalah perusahaan yang melaksanakan pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal dan khusus untuk Penanaman Modal Asing harus berbentuk Perseroan Terbatas.
6. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
7. Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, perubahan penggunaan mesin untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha, diekspor, atau penghapusan dari aset perusahaan.
8. Keadaan darurat (force majeur) adalah keadaan seperti kebakaran, bencana alam, kerusuhan, peperangan atau hal-hal lain yang terjadi di luar kemampuan manusia.
9. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Pasal 2
(1) Atas impor mesin, barang dan bahan yang dilakukan oleh Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang :
a. industri yang menghasilkan barang; dan/atau
b. industri yang menghasilkan jasa,
dapat diberikan pembebasan bea masuk.
(2) Industri yang menghasilkan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang menjadi bagian tidak terpisahkan dati Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sepanjang mesin, barang dan bahan tersebut :
a. belum diproduksi di dalam negeri;
b. sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
c. sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri,
berdasarkan daftar mesin, barang dan bahan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian atau pejabat yang ditunjuk, setelah berkoordinasi dengan instansi teknis yang terkait.
Pasal 3
(1) Pembebasan bea masuk atas impor mesin untuk pembangunan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(2) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu pembangunan industri tersebut sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan penanaman modal.
(3) Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta siap produksi, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan produksi paling lama 2 (dua) tahun, sesuai kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(4) Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum merealisasikan seluruh importasi barang dan bahan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, dapat diberikan perpanjangan waktu importasi selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 4
(1) Pembebasan bea masuk atas impor mesin dalam rangka pengembangan industri, diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(2) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu pengembangan industri tersebut sepagaimana tercantum dalam surat persetujuan penanaman modal.
(3) Perusahaan yang telah menyelesaikan pengembangan industri, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi paling lama 2 (dua) tahun, untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(4) Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum merealisasikan seluruh importasinya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, dapat diberikan perpanjangan waktu importasi selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhimya fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 5
(1) Perusahaan yang melakukan pembangunan atau pengembangan, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dengan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, atas impor barang dan bahan dapat diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk keperluan produksi/keperluan tambahan produksi selama 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(2) Penggunaan dan komposisi mesin produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 6
Fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, tidak berlaku untuk industri perakitan kendaraan bermotor kecuali industri komponen kendaraan bermotor.
Pasal 7
(1) Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan untuk pembangunan industri, Perusahaan mengajukan permohonan yang ditandatangani oleh pimpinan Perusahaan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan :
a. Akta pendirian Perusahaan;
b. Surat Persetujuan Penanaman Modal;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tanda terima pengajuan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
d. Nomor Identitas Kepabeanan (NIK);
e. Angka Pengenal Impor (API/APIT/API-P);
f. Daftar mesin meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara terinci; dan
g. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang atau uraian ringkas kegiatan usaha bagi industri jasa.
(3) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan:
a. Surat pernyataan dari instansi teknis terkait yang berisi keterangan tentang komposisi mesin telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dalam hal Perusahaan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri;
b. Daftar barang dan bahan meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara terinci; dan
c. Pemberitahuan pabean impor mesin atau faktur pembelian mesin dalam negeri untuk pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 8
(1) Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan untuk pengembangan industri, Perusahaan mengajukan permohonan yang ditandatangani oleh pimpinan Perusahaan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan :
a. Akta pendirian Perusahaan;
b. Surat Persetujuan Penanaman Modal;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
d. Daftar mesin yang meliputi jumlah, jenis, dan spesifikasi teknis secara terinci;
e. Nomor Identitas Kepabeanan (NIK);
f. Angka Pengenal Impor (API/APIT/API-P); dan
g. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang atau uraian ringkas kegiatan usaha bagi industri jasa.
(3) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. Surat pernyataan dari instansi teknis terkait yang berisi keterangan tentang komposisi mesin telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dalam hal Perusahaan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri;
b. Daftar barang dan bahan meliputi jumlah, jenis, dan spesifikasi teknis secara terinci; dan
c. Pemberitahuan pabean impor mesin atau faktur pembelian mesin dalam negeri atas pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 9
(1) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan.
(2) Dalam hal permohonan disetujui, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri menerbitkan keputusan pembebasan bea masuk dengan dilampiri daftar yang sekurang-kurangnya memuat rincian jumlah, jenis, spesifikasi dan perkiraan harga dari mesin, barang dan bahan yang diberikan pembebasan bea masuk serta pelabuhan tempat pemasukan.
(3) Dalam hal permohonan ditolak, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri membuat surat penolakan permohonan dengan menyebutkan alasan penolakan.
(4) Salinan keputusan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pembatalan keputusan pembebasan bea masuk, disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan barang.
(5) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 10
Perubahan atas keputusan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), hanya dapat dilakukan apabila :
a. mesin, barang dan bahan belum diimpor; dan
b. masih dalam jangka waktu pembebasan.
Pasal 11
Terhadap impor mesin, barang dan bahan yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, berlaku ketentuan larangan dan pembatasan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Jumlah dan/atau jenis mesin, barang dan bahan yang diimpor harus sesuai dengan jumlah atau jenis mesin, barang dan bahan yang tercantum dalam keputusan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Dalam hal terjadi selisih lebih jumlah dan/atau perbedaan jenis mesin, barang dan bahan antara jumlah keseluruhan importasi dengan keputusan pembebasan bea masuk, terhadap selisih lebih dan/atau perbedaan jenis, Perusahaan wajib membayar bea masuk.
Pasal 13
Perusahaan yang mendapatkan pembebasan bea masuk, harus menyampaikan laporan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mengenai realisasi impor mesin, barang dan bahan yang mendapat pembebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengembangan.
Pasal 14
(1) Mesin dan/atau barang dan bahan yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, wajib digunakan sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Perusahaan yang bersangkutan.
(2) Mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebaskan dari pengenaan pembayaran bea masuk yang terutang dalam hal :
a. dilakukan pemindahtanganan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor;
b. dilakukan pemindahtanganan dalam jangka waktu kurang dari 5 (lima) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor, dan pemindahtanganan dilakukan dari Perusahaan penerima fasilitas ke Perusahaan penerima fasilitas lainnya, diikuti dengan pemindahan tanggung jawab penerima fasilitas pembebasan bea masuk;
c. terjadi force majeur, sehingga mesin mengalami rusak berat dan tidak dapat dipakai lagi; atau
d. diekspor.
(3) Pemindahtanganan mesin yang dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 5 (lima) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor kepada Perusahaan yang tidak mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk, berakibat batalnya fasilitas pembebasan bea masuk yang diberikan dan Perusahaan wajib membayar :
a. bea masuk yang terutang atas mesin asal impor dan/atau barang dan bahan (bahan penolong) yang besarnya sebanding dengan besar kapasitas mesin yang dipindahtangankan; dan
b. bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung dari bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a, sejak tanggal pemberitahuan pabean impor sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.
(4) Pemindahtanganan mesin termasuk yang disebabkan oleh force majeur atau diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri.
(5) Pemindahtanganan mesin termasuk yang disebabkan oleh force majeur atau diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), yang dilakukan tanpa mendapat izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri, Perusahan wajib membayar:
a. bea masuk yang terutang atas mesin asal impor dan/atau barang dan bahan (bahan penolong) yang besarnya sebanding dengan besar kapasitas mesin yang dipindahtangankan; dan
b. sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(6) Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebaskan dari kewajiban membayar bea masuk yang terutang setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri terlebih dahulu, dalam hal :
a. terjadi force majeur, sehingga mengalami rusak berat dan tidak dapat dipakai lagi; atau
b. diekspor.
(7) Atas penyalahgunaan pemanfaatan barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain kondisi dimaksud pada ayat (6), Perusahaan wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pemindahtanganan mesin dan/atau barang dan bahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 15
(1) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal menyampaikan laporan mengenai pemberian pembebasan bea masuk kepada Menteri melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
(2) Laporan dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam) bulan, yaitu untuk semester pertama pada bulan Juli tahun berjalan dan untuk semester kedua pada bulan Januari tahun berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan dafrar pemberian pembebasan bea masuk dalam periode semester yang bersangkutan dan sekurang-kurangnya memuat elemen data sebagai berikut :
a. Nomor dan Tanggal Persetujuan Penanaman Modal;
b. Nama Perusahaan dan NPWP;
c. Jenis Sektor Industri;
d. Nilai Penanaman Modal;
e. Nomor dan Tanggal Rencana Impor Barang;
f. Uraian Umum Jenis BarangYang Akan Di Impor;
g. Perkiraan Jumlah Nilai Pabean Rencana Impor Barang.
(4) Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini akan dievaluasi paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya ketentuan ini.
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pemberian fasilitas pembebasan bea masuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Perusahaan yang telah mendapat fasilitas keringanan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2005, dan atas mesin, barang dan bahan yang mendapat fasilitas keringanan bea masuk tersebut belum direalisasikan impornya, dapat menggunakan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan mengajukan permohonan baru kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 18
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku :
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 298/KMK.05/1997 tentang Ketentuan Pemindahtanganan Barang Modal Bagi Perusahaan PMA/PMDN atau Non PMA/PMDN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 394/KMK.05/1999;

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tentang Keringanan Bea Masuk Atas Impor Mesin, Barang dan Bahan dalam Rangka Pembangunan/Pengembangan Industri/Industri Jasa sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2005; dan

c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 456/KMK.04/2002 tentang Perpanjangan Jangka Waktu Impor Mesin, Barang, dan Bahan Yang Mendapatkan Fasilitas Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tentang Keringanan Bea Masuk Atas Impor Mesin, Barang dan Bahan dalam Rangka Pembangunan/Pengembangan Industri/Industri Jasa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.011/2007,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan iru mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang Mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan diJakarta
pada tanggaI 16 November 2009
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANIINDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggaI 16 November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 432


LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 176/PMK.011/2009 TENTANG
PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR
MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN
UNTUK PEMBANGUNAN ATAU
PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM
RANGKA PENANAMAN MODAL

DAFTAR INDUSTRI YANG MENGHASILKAN JASA
YANG DAPAT MEMPEROLEH PEMBEBASAN BEA MASUK

NO. INDUSTRI JASA

1. Pariwisata dan kebudayaan
2. Transportasi/perhubungan (untuk jasa transportasi publik)
3. Pelayanan kesehatan publik
4. Pertambangan
5. Konstruksi
6. Industri Telekomunikasi
7. Kepelabuhan

MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI

Tuesday 11 May 2010

Bentuk, Ukuran, Prosedur Administrasi Faktur Pajak


Bentuk, Ukuran, Prosedur Administrasi Faktur Pajak

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Tata Cara Penggantian Faktur Pajak, Dirjen Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 13 /Pj/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak, dan Surat Edaran Nomor SE – 42 /PJ/2010. Hal-hal yang diatur dalam PER- 13 /Pj/2010 dan SE – 42 /PJ/2010 tersebut disampaikan sebagai berikut.

Kewajiban Membuat Faktur Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya adalah melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut:
1. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari rumah ke rumah;
2. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; dan
3. melakukan transaksi jual bell secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

Saat Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada:
• saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
• saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
• saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
• saat PKP menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Faktur Pajak Gabungan
• Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
• Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Faktur Penjualan sebagai Faktur Pajak
Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang . Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tabun 2009 (UU PPN), dan pengisiannya sesuai dengan Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak, dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak
• Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan sendiri oleh PKP.
• Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak dapat dibuat sebagaimana contoh pada Lampiran IA dan Lampiran IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER- 13 /Pj/2010.

Pengisian Faktur Pajak
Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan sesuai dengan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap dan benar dan/atau tidak ditandatangani merupakan Faktur Pajak cacat.

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER- 13 /Pj/2010
Kode Faktur Pajak terdiri dari:
• 2 (dua) digit Kode Transaksi;
• 1 (sate) digit Kode Status; dan
• 3 (tiga) digit Kode Cabang.

Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari:
• 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan
• 8 (delapan) digit Nomor Urut.

Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak
Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak adalah sebagai berikut :
1. Pengusaha Kena Pajak yang telah melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang:
1. sistem penerbitan Faktur Pajak-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/ atau
2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/ atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dan/atau berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu diisi dengan kode ‘000′ untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode ‘001′ untuk Kantor Cabang; atau
2. bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
1. tidak melakukan pemusatan; atau
2. melakukan pemusatan selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada point 1,
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak diisi dengan kode ‘000′.

Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak antara lain:
1. PKP wajib mengisi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan. Kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak akan mengakibatkan Faktur Pajak tersebut menjadi cacat;
2. Kode Cabang hanya digunakan oleh PKP yang telah mendapat ijin Pemusatan PPN terutang namun sistem penerbitan Faktur Pajak-nya belum on line;
3. Peruntukan Kode Cabang tidak boleh diubah. Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya tidak boleh digunakan kembali;
4. Nomor Urut dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status dan mats uang yang digunakan serta Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap (eks Faktur Pajak Sederhana);

Pemberitahuan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Kewajiban PKP untuk menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait dengan pengisian Faktur Pajak yaitu:
1. Surat pemberitahuan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak yang dilengkapi dengan contoh spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk termasuk bila ada perubahan/penggantian pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak;
2. Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan atau penghentian penggunaan Kode Cabang;
3. Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan (Faktur Pajak yang diterbitkan telah mencapai nomor urut 99999999).

Batas waktu penyampaian surat pemberitahuan secara tertulis
Batas waktu penyampaian surat pemberitahuan secara tertulis oleh PKP kepada Kepala KPP:
1. Surat pemberitahuan nama dan spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk utuk menandatangani Faktur Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah pejabat atau kuasa yang ditunjuk mulai menandatangani Faktur Pajak;
2. Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan Kode Cabang paling lama akhir bulan berikutnya setelah Kode Cabang mulai digunakan;
3. Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Nomor Urut 00000001 yang kedua digunakan.

Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tertulis
PKP yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan menyampaikan pemberitahuan tetapi melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir 9 maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan surat pemberitahuan diterima dianggap Faktur Pajak cacat.

Faktur Pajak Cacat
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak cacat tidak dapat dikreditkan dan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak cacat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU KUP.

Faktur Pajak Pengganti
Atas Faktur Pajak yang cacat, rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Faktur Pajak yang Hilang
Atas Faktur Pajak yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pembatalan Faktur Pajak
Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf C Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Faktur Pajak yang Diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan
• Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
• Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.

Sanksi Administrasi
Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP Tahun 1983 dan perubahannya dalam hal :
1. menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/ atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan/atau
2. menerbitkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).

Dikecualikan dari ketentuan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud poin 1 di atas dalam hal Faktur Pajak tidak memuat keterangan mengenai:
1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; atau
2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, dan nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.

PKP Pedagang Eceran (PKP PE)
Sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, khusus untuk PKP Pedagang Eceran (PKP PE) diberikan kemudahan untuk menggunakan kode dan nomor serf khusus sebagai pengganti Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak. Kode dan nomor serf khusus tersebut ditentukan sendiri oleh PKP PE dapat berupa nomor invoice atau nomor struk penjualan, sebagaimana yang saat ini telah dipergunakan.

Mulai Berlaku
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 13 /PJ/2010 tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Adventure Lombok Exotis Bersama Taft Diesel Indonesia Chapter Gresik

Menjelang Tahun Baru 2015 TDI ( Taft Diesel Indonesia ) Chapter Gresik mengadakan Touring Ke Pulau lombok Selama 3 hari dan dilanjutka...